BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia sebagai makhluk dinamis, selalu mengalami
perkembangan seiring dengan perjalanan waktu. Terlebih diera globalisasi dengan
berbagai produknya yang berimplikasi pada penemuan berbagai perangkat
telekomunikasi dan informasi, ternyata membawa dampak cukup signifikan terhadap
perkembangan prilaku manusia. Perkembangan prilaku ini tentunya tidak lepas
dari aspek hukum, tak terkecuali hukum islam. Banyak persoalan baru yang tidak
tercover oleh aturan hukum.
Persoalan-persoalan hukum dalam berbagai aspeknya
yang dulunya tidak pernah terbayangkan muncul, pada era globalisasi ini muncul
dan berkembang dengan cepat. Padahal wahyu tidak akan turun lagi karena
Rasulullah Saw sebagai Rasul terakhir telah wafat dan al-Qur’an telah tamat.
Sementara tidak semua persoalan-persoalan hukum yang muncul kontemporeri dalam
era globalisasi dijawab dengan gamblang oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadis
Rasulullah Saw.
Masyarakat muslim, sebagai bagian dari masyarakat global
tidak lepas dari dampak globalisasi dengan perkembangan produknya. Permasalahan
yang paling mendasar hukum islam adalah, banyak nya problem kontemporer yang
tidak terjawab oleh hukum islam karena kurang efektif dan intensnya proses
harmonisasi dan kontekstualitas hukum islam melalui ijtihad.
Pernyataan bahwa hukum islam selalu
compatible (salihun likulli zaman wal makan) dengan segala tempat dan
zaman nampaknya tidak selalu tepat. Banyak kasus, penemuan baru dan peristiwa
hukum yang belum diatur secara spesifik atau bahkan belum diatur sama sekali
oleh fiqih dan hukum islam yang berlaku disebuah negara. Banyak nya problem
kontemporer yang munncul, tidak seharusnya dihadapkan secara konfrontatif
dengan norma dan aturan yang terdapat dalam nassatau teks agama.
Berbagai problem kontemporer harus dicari jawabanya melalui aktifitas ijtihad.
Ijtihad sebagai produk penalaran manusia terhadap wahyu di satu pihak, dan
kenyataan sosial di pihak lain, telah menunjukan elestisitas dan dinamika
fiqih. Ushul fiqhdan fiqih sudah seharusnya berkembang dalam menghadapi
realitas kehidupan modern tersebut.
Hukum islam tidak akan mampu menghadapi dan menjawab
problem dan tantangan, khususnya didunia modern, kecuali dengan adanya
haromisasi antara teks engan konteks, antara teks dengan perkembangan zaman dan
sosio-kultur masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Konsep
Dasar Ijtihad Kontemporer?
2.
Bagaimana Model
ijtihad kontemporer?
3.
Bagaimana Perangkat
ijtihad kontemporer?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mengetahuai:
1.
Untuk mengetahui
Konsep Dasar Ijtihad Kontemporer
2.
Untuk mengetahui
Model ijtihad kontemporer
3.
Untuk mengetahui
Perangkat ijtihad kontemporer
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Ijtihad Kontemporer
Ijtihad secara etimologi berarti mengerahkan
kemampuan. Mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Abu zakariya
al-Ansari menyebutkan bahwa secara etimologi ijtihad adalah wazan ifti’al dari kata al-judhu yaitu mengerahkam segala aya upaya untuk keluar dari
kesulitan. Mengenai definisi ijtihad secara bahasa, al-Razi menyatakan:
وهو
في الغة عبارة عن استفراغ الوسع في أي فعل كان يقال استفرغ وسعه في حمل الشقيل ولا
يقال استفرغ وسسعه في حمل النواة.
Menurut Abdul Halim ‘Uways ijtihad secara bahasa,
ijtihad adalah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan untuk memperoleh
sesuatu yang diinginkan. Sementara Muhammsd Iqbal mengartikan ijtihad secara
harfiah dengan berusaha keras. Sedangkan dalam literatur lain ijtihad diartikan
memikul beban.[1]
Al-Ghazali
dalam kitab Al-Mustafa didefinisikan ijtihad:
وَهُوَ عِبَارَةٌ
عَنْ بَذْلِ الْمَجْهُوْدِ وَاسْتِفْرَاغِ اْلوُسْعِ فِي فِعْلٍ مِنْ اْلاَفْعَالِ،
وَلَا يُسْتَعْمَلُ اِلَاّ فِيمَا فِيهِ كُلْفَةٌ وَجَهْدٌ،فَيُقَالُ : اجْتَهَدَ
فِي حَمْلِ حَجَرِ الرَّحَا ، وَلاَ يُقَالُ :اجْتَهَدَ فِي حَملِ خَردَلَةٍ ،
لَكِنْ صَارَ الَّفْظُ فِي عُرْفِ الْعُلَمَاءِ مَحْصُوْصًا بِبَدْلِ
الْمُجْتَهِدِ وُسْعَهُ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ بِأَ حْكَامِ اشَّرِيْعَةِ .
Sementara
Al-Amidi menyatakan:
يا ستفراغ الوسع في طلب اظن بشئ من
الا حكام الشرعيةعلئ وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه .
Berdasarkan dua ungkapan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa secara terminologi ijtihad dalam karya ulama klasik secara
umumijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan keilmuan untuk mendapatkan
sebuah simpulan, pengetahuan, atau perasangaka tentang suatu hukum dari
perbuatan orang mukallaf (cakap hukum). Sementara menurut kalangan ulama
kontemporer, ijtihat merupakan sebuah konsep yang sekaligus mengandung implikasi
metodologis, metodis atau fungsional.
Fazlu Rahman misalnya, mendefinisikan ijtihad
sebagai upaya memahami makna suatu teks atau preseden dimasa lampau
yanginterpretasi al-Qur’an dan al-Sunnah.ketika suatu prinsip atau aturan
syariah didsarkan pada makna umum atau implikasi yang luas pada suatu teks yang
jelas dan terinci, maka teks dan prinsip syariah itu harus dihubungkan melalui
penalaran hukum. Agar ijtihad dapat menghasilkan hukum yang tepat dan dapat
menjawab permasalahan yang ada, maka harus dilakukan dengan berbagai pendekatan
dan bidang ilmu.[2]
Berangkat dari permasalahan diatas, maka ijtihad
kontemporer dapat dirtika sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh orang baik
secara individu maupun kolektif yang mempunyai kelayakan dan kompetensi ilmiyah
untuk mendapatkan formulasi hukum yang tepat dengan mensinergikan metode ushul
fiqih dengan metode ilmiah serta menggunakan berbagai disiplin ilmu dengan
berlandaskan sumber-sumber hukum dengan mempertimbangakan realitas sosial dan
konteks masa dan situasi untuk mencapai kemaslahatan. Ijtihadkontemporer tidak
hanya dilakukan seorang akan tetapi secara kolektif, karena menggunakan
berbagai perspektif dan pendekatan.
B.
Model
Ijtihad Kontemporer
Realitas sosial menjadi salah satu faktor pembeda
metode dan corak ijtihad ulama madzhab dan hasilnya. Imam Syafi’i misalnya,
pada mulanya ketika berada di Hujaz dan Irak telah mengeluarkan ijtihad beliau
yang sering disebutnya dengan qaum qadim. Qaul qadim ini dipengaruhi
oleh kondisi sosial budaya negri Hijaz dan Irak. Kemudian ketika beliau hijrah
ke Mesir, beliau mendapati bahwa realitas sosial budaya masyarakat Mesir
berbeda dengan Hijaz dan Irak, karena Mesir dipengaruhi oleh Budaya Eropa dan
Romawi. Sehingga beliau mengeluarkan ijtihad baru yang biasa disebut qaul
jadid.
Paparan
diatas memberikan gambaran bahwa metode dan ijtihad harus kontekstual, artinya
memperhatikan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat.
Apabila ada suatu fenomena atau problem yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
yang membutuhkan jawaban dari perspektif hukum Islam, maka harus dilakukan
ijtihad dengan metode yang relevan dengan problem tersebut.
Yusuf al-Qarawadi menawarkan tiga alternatif model
dalam melaksanakan ijtihad kontemporer, yakni ijtihad intiqa’i, ijtihad
insyai, dan ijtihad integrasi antara keduanya. Mengenai maksud ijtihad
intiqa’i menjelaskan:
"ونعي بالا جتهاد الانتقاءئي : اختيار أحد الآراء المنقولة في
تراثنا الفهي العريض للفتوى أوالقضاءبه ، ترجيحا له على غيره من الاراء ولآراء
قوال الاخرى."
“ijtihad intiqai adalah memilih satu
pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang mendapat pada khazanah fiqih Islam
yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum”. Sementara ijtihad insyai
adalah:
ونعني
بالاجتهاد الانشائي :استنباط حكم جديدفي مسأءلة من المسائل ، لم يقل به أحد من
السابقين، سواء كانت المسألة قديمة أم جديدة. ومعنى هذاأن الاجتهاد الإنشائي قد
يشمل بعض المسائل القديمة بأن يبدو للمجتهد المعا صر فيهاراي جديد لم ينقل عن
علماء السلف ولا حجر على فضل الله تعا لى.
Maksudnya dari pernyataan diatas adalah ijtihad
insya’imerupakan usaha pengambilan konklusi hukum dari suatu persoalan yang
belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu.
Tawaran ketiga adalah dengan memadukan antara
ijtihad intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang
dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambah
unsur-unsur ijtihad baru. Dalam kesempatan lain al-Qaradawi menjelaskan tentang
model ijtihad kontemporer, yaitu Taqnin (legislasi), fatwa dan al-bahs. [3]
Sementara Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh mengatakan:
"إذا وقعت حادثة جديدة، أوأراد إنسان استخلاص رأي راجح من بين
آراء الأءمة، استجمع العالم المجتهد كل ما يتصا بنواحي المو ضوع من لغة وآيات قرآنية
وأحاديث نبوية وأقاويل السلف وأوجه القياس المكنه، أي لابد من توافر شروط الاجتهاد
في تلك الحادثة، ثم ينظر فيها بدون تعصب لمذهب معين على التالي : ينظر أولاًفي
نصوص كتاب الله تعالى، فإن وجد فيه نصًا أو ظاهراً، تمسك به، وحكم في الحادثة
بمقتضاه. فإن لم يجد فيه ذلك، نظر في السنة، فإن وجد فيها خبراً أو سنة أعملية
أوتقريرية، أخذ بها، ثم ينظر في إجماع العلماء، ثم في القياس، ثم في الرأي الموافق
لروح التشريع الإسلامي. وهكذا تتحدد طريقة الا جتهاد إما بالأخذ من ظواهر النصوص
إذا انطبقت على الواقعة، أو بأخذ الحكم من معقول النص أي بالقياس، أو بتنزيل
الوقاءع على القواعد العامة المستنبطة من الأدلة المتفرقة في القرآن والسنة كالا
ستحسان والمصالح المر سلة والعرف وسد الذراءع إلخ.
Berdasarkan ungkapan diatas, dapat dipahami bahwa
sebuah metode ijtihad (penalaran hukum) sendiri secara umum dapat dibagi
kedalam tiga model yaitu:
1.
Melalui
penalaran hukum yang berangkat dari semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian
kebahasaan (semantik). Metode ini ditunjukan terhadap teks-teks syariah yang
berupa Al-Qur’an dan Hadis untuk mengetahui bagaimana cara lafaz-lafaz kedua
sumber itu menunjuk kepada hukum-hukum fiqih yang dimaksudnya.
2.
Pola qiyasi(analogi),
yaitu usaha untuk menetapkan hukum islam yang khususnya tidak terdapat dalam
nas dengan cara menganalogkannya dengan kasus (peristiwa) hukum yanng terdapat
dalam nas karena adanya keserupaan hukum.
3.
Pola Istislahi
yaitu suatu metode penalaran hukum yang mengumpulkan ayat-ayat umum guna
menciptakan prinsip universal untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Istislah
atau al-Maslahah al-Mursalahadalh maslahat berupa kebaikan atau manfaat
yang dinilai dengan pertimbangan logika dan sesuai dengan tujuan syara’, namun
tidak ada petunjuk dalam nas yang mendukung atau mereduksinya.
Pengembangan Fiqih Mu’amalah Kontemporer dengan
menggunakan model istislahi bertujuan mencapai kemaslahatan dalam kehidupan
masyarakat indonesia dengan memadukan ukuran nas atau teks dengan pandangan
logika atau akal. Pemaduan keduanya bertujuan kemaslahatan yang hendak dicapai
tidak liar, lepas dari koridor syara’ serta hanya menggunakan pertimbangan akal
dan realitas sosial semata. Disamping itu, pemaduan nas dan akal dilakukan agar
ijtihad tidak hanya dogmatis tekstual tanpa menggunakan pertimbangan
kemaslahatan yang realistis dan praktitis.
Berangkat dari berbagai
model-model ijtihad sebagaimana dipaparkan diatas, model yang paling tepat
digunakan untuk ijtihad kontemporer dalam rangka menghasilkan fiqih kontemporer
adalah metode ketiga, yaitu model Istislahi. Model ini yang dipakai oleh para
sahabat, tabi’in, dan para imam mazhab disetiap waktu dan masa. Metode ini
berusaha mewujudkan otentisitas dan modernitas sekaligus. Model ini berusaha
mewujudkan dua hal: pertama, tetap berpegang teguh pada nas, dan kedua,
tetap menjaga dan mempertemukan aspek kemaslahatan dan kebutuhan setelah
melakukan pemahaman mendalam terhadap nas dan menjelaskaan illat-nya.
Model ini dapat diterima secara syara’ maupun akal, karena pertama,
model ini menjaga tuntutan-tuntutan perkemangan atas dasar maslahah mursalah,
termasuk ‘urf “menabrak nas”. Model ini diharapkan dapat memproduk fiqih
kontemporer yang kontekstual, sehingga dapat menjadi acuan pengembangan hukum
Islam untuk menjawab berbagai persoalan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat
modern.
C.
Perangkat
Ijtihad Kontemporer
Perangkat ijtihad merupakan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh seorng mujtahid. Kalau membaca kitab-kitab ushul fiqh ulama klasik, maka persyaratan mujtahid akan selalu
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat tekstual dan berkaitan dengan moralitas
dan integritas muhtahid. Al Ghazali misalanya mensyaratkan seorang mujtahid
harus mengetahui tentang hukum-hukum syara’ dan harus adil serta menjauhi
perbuatan maksiat yang bisa menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid.
Al-Syatib sebagai “Bapak Maslahat” mensyaratkan dua hal yaitu: 1) bisa memahami
tujuan syariat secara sempurna, 2) bisa menggali suatu hukum atas dasar
pemahaman seorang mujtahid. Menurut Imam Al-Syaukani mujtahid harus: 1)
menguasai nas Al-Qur’an dan al-Sunnah, 2)menguasai permasalahan ijma’ 3)
menguasai bahasa arab, 4) menguasai ilmu ushul
fiqh, 5) menguasai nasakhdan mansukh. Pada umumnya ulama klasik dalam
membuat kriteria mujtahid tidak memisahkan antara syarat dan kode etik seorang
mujtahid. Sementara menurut Yusuf al-Qarawadi seorang mujtahid harus memenuhi
kriteria: 1) menguasai al-Qur’an dan ilmu nya yang berkaitan, 2) menguasai
al-Sunnah dan ilmu yang berkaitan, 3) menguasai Bahasa Arab, 4) menguasai
permasalahan ijma’. Syarat ini menurut Qaradawi adalah berlaku bagi mujtahid
muthlaq. Lebih dari itu, menurut Yusuf Qaradawi, seorang mujtahid harus
menguasai ilmu-ilmu humaniora, mengetahui peradaban di zamannya bidang
kesehatan, kimia, olah raga, hal ini agar hasil ijtihad relevan.
Lebih tegas lagi, Ahmad Bu’ud
menyatakan bahwa ijtihad kontemporer setidaknya mempunyai tiga perangkat pokok,
yang secara singkat adalah:[4]
الأول فقه النص، وما يستلزم ذلك من فقه الغة العربية،وأسباب
النزول، أو الورود، ومقاصد الشرع في ذلك. الشاني فقه الواقع، وما يتطلب من أدوات
مختلفة باختلاف القضايا والمجالات. الثالث،
الاجتهاد الجماعي، لأنه الشكل الأ نسب للاجتهاد، كماكان ذلك على عهد الصحابة رضوان
الله عليهم.
Maksud dari pernyataan Bu’ud diatas,
sebagaimana yang diterjemahkan dan dijelaskan oleh Baradikal bahwa perangkat
ijtihad kontemporer adalah: Pertama,
Fiqh al-Nasi dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Hal yang paling pertama
dilakukan oleh seorang mujtahid ketika berijtihad adalah mencari landasan
dalil-dalil hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Untuk mencapai
kemaslahatan umat dan ketetapan berijtihad, diperlukan kerja sama semua
kompenen yang berkaitan dengan masalah tersebut, agar kaidah dalam memahami
teks yang perlu dimiliki oleh seorang mujtahid diantaranya; (a) memiliki
kapabilitas dalam pengetahuan Bahasa Arab, (b) mengetahui sebab turunnya sebuah
ayat atau hadis (asbab al-nuzul wa al-wurud), (c) mengetahui tujuan atau maksud
dari turunnya ayat tersebut (maqasid al-Syari’ah).
Kedua, fiqih realitas (al-fiqh
al-waqi’i), yaitu pemahaman yang mendalam dan integral terhadap sebuah objek
atau realitas yang dipahami oleh manusia dalam ranah hidupnya. Adapun hal-hal
yang mencakup fiqh al-waqi’adalah:
(a) Memahami dan mengetahui pengaruh-pengaruh alami yang muncul dilingkungan
sekitarnya, terutama kondisi geografis wilayah tertentu dimana mujtahid tersebut
hidup dan tinggal. (b) Mengetahui kondisi sosial kemasyarakatan dan
transformasinya dalam berbagai bentuk yang memiliki keterkaitan sosial, yaitu
segala sesuatu yang berhubungan antara satu orang dengan orang lainya apapun
jenis hubungan tersebut, baik dalam ranah agama, budaya, ekonomi, politik atau
militer. (c) Disamping memahami realita sosial yang melingkupi sebuah
permasalahan, seoranng mujtahid juga dituntut untuk mempelajari kondidi
psikologis manusia sekitarnya.
Ketiga, ijtihad kolektif
(jama’i). Ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan
ijtihad kolektif (ijtihad jami’i), kecuali ketika keadaan benar-benar
mendesak. Keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para
mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini.
Mengenai ijtihad kolektif terpadu ini al-Qaradawi menyatakan:
وينبغي
أن يكون الاجتهاد في عصرنا اجتهادا جماعيا في صورة مجمع علمي يضم الكفايات الفقهية
العالية، ويصدر أحكا مه في شجاعة وحرية بعيدا عن كل المؤثرات والضغوط الاجتماعية
والسياسية، ومع هذالاغني عن الجتهاد الفدي، فهو الذي ينير الطريق أمام الاجتهاد
الجماعي، بما يقدم من دراسات عميقة، ومجوث أصيلة مجدومة، بل ان عملية الاجتهاد في
حد ذاتها عملية فردية قيل كل شيء.
Selain berbagai keilmuan di atas, dalam
konteks ijtihad kontemporer untuk memproduk fiqih kontemporer, maka dibutuhkan
berbagai ilmu lain, yang meliputi ilmu-imu sosial humaniora, seperti sosiologi,
antropologi, sejarah, politik dan juga diperlukan ilmu sains modern.[5]
Ijtihad kontemporer dilakukan setiknya
dengan dua kelompok perangkat, perangkat metodologid dan perangkat oprasional.
Perangkat metodologis adalah perangkat yang berkaitan dengan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan metode penemuan hukum, seperti al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang
berkaitan, ushul fiqh, ilmu
metodologi penemuan hukum kontemporer, dan sebagainya. Sementara perangkat
oprasioanal lebih pada ilmu-ilmu pendukung untuk oprasional perangkat
metodologis tersebut, seperti ilmu-ilmu sosial humaniora dan ilmu pengetahuan
sains modern. Oleh karena itu ijtihad kontemporer dilaksanakan secara terpadu
atau integratif.
Ijtihad kontemporer dilaksanakan
secara bersama-sama oleh berbagai pakar dari berbagai latar belakang ilmu, dan
menguasai metode ushul fiqh dan
ilmu-ilmu metode penemuan hukum modern. Penguasa metode ijtihad klasik atau ushul fiqh dan berbagai ilmu humaniora
dan sains modern menjadi keharusan bagi para mujtahid kontemporer. Hal ini
merupakan usaha untuk mensinergikan antara metode ushl fiqh klasik dengan metode ilmiah modern. Kedua
metode ini memang harus disinergikan dalam rangka ijtihad yang fresh dan kontekstual yang
dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:[6]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan
Ijtihad secara etimologi berarti mengerahkan kemampuan. Mengerahkan segala
kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Maka ijtihad kontemporer dapat dirtika
sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh orang baik secara individu maupun
kolektif yang mempunyai kelayakan dan kompetensi ilmiyah untuk mendapatkan
formulasi hukum yang tepat dengan mensinergikan metode ushul fiqih dengan
metode ilmiah serta menggunakan berbagai disiplin ilmu dengan berlandaskan
sumber-sumber hukum dengan mempertimbangakan realitas sosial dan konteks masa
dan situasi untuk mencapai kemaslahatan. Ijtihadkontemporer tidak hanya
dilakukan seorang akan tetapi secara kolektif, karena menggunakan berbagai
perspektif dan pendekatan. Model ijtihad kontemporer yaitu terdiri dari yakni
ijtihad intiqa’i, ijtihad insyai, dan ijtihad integrasi.
Sedangkan perangkat ijtihad merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorng mujtahid.
B.
Saran
Berangkat dari berbagai model-model ijtihad
sebagaimana dipaparkan diatas, model yang paling tepat digunakan untuk ijtihad
kontemporer dalam rangka menghasilkan fiqih kontemporer adalah metode ketiga,
yaitu model Istislahi. Model ini yang dipakai oleh para sahabat, tabi’in, dan
para imam mazhab disetiap waktu dan masa. Metode ini berusaha mewujudkan
otentisitas dan modernitas sekaligus. Model ini berusaha mewujudkan dua hal: pertama,
tetap berpegang teguh pada nas, dan kedua, tetap menjaga dan
mempertemukan aspek kemaslahatan dan kebutuhan setelah melakukan pemahaman
mendalam terhadap nas dan menjelaskaan illat-nya. Model ini dapat
diterima secara syara’ maupun akal, karena pertama, model ini menjaga
tuntutan-tuntutan perkemangan atas dasar maslahah mursalah, termasuk ‘urf
“menabrak nas”. Model ini diharapkan dapat memproduk fiqih kontemporer yang
kontekstual, sehingga dapat menjadi acuan pengembangan hukum Islam untuk
menjawab berbagai persoalan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat modern.
DAFTAR
PUSTAKA
Mustafa
Imam, 2013. Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Mustofa
Imam, 2013. Ijtihad Kolektif Integratif Upaya Pengembanagn Fiqh Mu’amalah
Kontekstual Sebagai Landasan Pengembangan Produk Lembaga Bisnis Syariah. Metro.
[1] Imam Mustafa, Ijtihad
Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2013), h. 9
[2] Ibid, h. 10
[3] Imam mustofa, ijtihad
kolegtif integratif,Upaya pengembangan fiqh mu’amalah kontekstual sebagai
landasan pengembangan produk lembaga bisnis syariah, (Metro,2013), h. 21
[4] Imam Mustafa,
Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2013),
h.15
[5] Ibid, h. 16
[6] Ibid, h. 17