Belajar tidak hanya sebatas mengetahui apa yang harus kita lakukan, melainkan melakukan apa yang tidak kita ketahui.

sebelum anda mencoba sesuatu belajarlah

sukses akan datanng kepada mereka yang sibuk mencarinya

jangan menunda sampai besok hal yanng akan kita lakukan hari ini.

kata-katamu adalah kualitas dirimu dan kualitas dirimu iti adalah ukuran kesuksesan yang pantas kamu dapatkan

Free Flower Color Change2 Cursors at www.totallyfreecursors.com

Senin, 27 November 2017

IJTIHAD KONTEMPORER



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk dinamis, selalu mengalami perkembangan seiring dengan perjalanan waktu. Terlebih diera globalisasi dengan berbagai produknya yang berimplikasi pada penemuan berbagai perangkat telekomunikasi dan informasi, ternyata membawa dampak cukup signifikan terhadap perkembangan prilaku manusia. Perkembangan prilaku ini tentunya tidak lepas dari aspek hukum, tak terkecuali hukum islam. Banyak persoalan baru yang tidak tercover oleh aturan hukum.
Persoalan-persoalan hukum dalam berbagai aspeknya yang dulunya tidak pernah terbayangkan muncul, pada era globalisasi ini muncul dan berkembang dengan cepat. Padahal wahyu tidak akan turun lagi karena Rasulullah Saw sebagai Rasul terakhir telah wafat dan al-Qur’an telah tamat. Sementara tidak semua persoalan-persoalan hukum yang muncul kontemporeri dalam era globalisasi dijawab dengan gamblang oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw.
Masyarakat muslim, sebagai bagian dari masyarakat global tidak lepas dari dampak globalisasi dengan perkembangan produknya. Permasalahan yang paling mendasar hukum islam adalah, banyak nya problem kontemporer yang tidak terjawab oleh hukum islam karena kurang efektif dan intensnya proses harmonisasi dan kontekstualitas hukum islam melalui ijtihad.
Pernyataan bahwa hukum islam selalu compatible (salihun likulli zaman wal makan) dengan segala tempat dan zaman nampaknya tidak selalu tepat. Banyak kasus, penemuan baru dan peristiwa hukum yang belum diatur secara spesifik atau bahkan belum diatur sama sekali oleh fiqih dan hukum islam yang berlaku disebuah negara. Banyak nya problem kontemporer yang munncul, tidak seharusnya dihadapkan secara konfrontatif dengan norma dan aturan yang terdapat dalam nassatau teks agama. Berbagai problem kontemporer harus dicari jawabanya melalui aktifitas ijtihad. Ijtihad sebagai produk penalaran manusia terhadap wahyu di satu pihak, dan kenyataan sosial di pihak lain, telah menunjukan elestisitas dan dinamika fiqih. Ushul fiqhdan fiqih sudah seharusnya berkembang dalam menghadapi realitas kehidupan modern tersebut.
Hukum islam tidak akan mampu menghadapi dan menjawab problem dan tantangan, khususnya didunia modern, kecuali dengan adanya haromisasi antara teks engan konteks, antara teks dengan perkembangan zaman dan sosio-kultur masyarakat.
B.            Rumusan Masalah
1.           Bagaimana Konsep Dasar Ijtihad Kontemporer?
2.           Bagaimana Model ijtihad kontemporer?
3.           Bagaimana Perangkat ijtihad kontemporer?
C.           Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mengetahuai:
1.             Untuk mengetahui Konsep Dasar Ijtihad Kontemporer
2.             Untuk mengetahui Model ijtihad kontemporer
3.             Untuk mengetahui Perangkat ijtihad kontemporer




BAB II
PEMBAHASAN

A.           Konsep Dasar Ijtihad Kontemporer
Ijtihad secara etimologi berarti mengerahkan kemampuan. Mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Abu zakariya al-Ansari menyebutkan bahwa secara etimologi ijtihad adalah wazan ifti’al dari kata al-judhu yaitu mengerahkam segala aya upaya untuk keluar dari kesulitan. Mengenai definisi ijtihad secara bahasa, al-Razi menyatakan:
وهو في الغة عبارة عن استفراغ الوسع في أي فعل كان يقال استفرغ وسعه في حمل الشقيل ولا يقال استفرغ وسسعه في حمل النواة.

Menurut Abdul Halim ‘Uways ijtihad secara bahasa, ijtihad adalah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Sementara Muhammsd Iqbal mengartikan ijtihad secara harfiah dengan berusaha keras. Sedangkan dalam literatur lain ijtihad diartikan memikul beban.[1]
Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustafa didefinisikan ijtihad:
وَهُوَ عِبَارَةٌ عَنْ بَذْلِ الْمَجْهُوْدِ وَاسْتِفْرَاغِ اْلوُسْعِ فِي فِعْلٍ مِنْ اْلاَفْعَالِ، وَلَا يُسْتَعْمَلُ اِلَاّ فِيمَا فِيهِ كُلْفَةٌ وَجَهْدٌ،فَيُقَالُ : اجْتَهَدَ فِي حَمْلِ حَجَرِ الرَّحَا ، وَلاَ يُقَالُ :اجْتَهَدَ فِي حَملِ خَردَلَةٍ ، لَكِنْ صَارَ الَّفْظُ فِي عُرْفِ الْعُلَمَاءِ مَحْصُوْصًا بِبَدْلِ الْمُجْتَهِدِ وُسْعَهُ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ بِأَ حْكَامِ اشَّرِيْعَةِ .
Sementara Al-Amidi menyatakan:
يا ستفراغ الوسع في طلب اظن بشئ من الا حكام الشرعيةعلئ وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه .
Berdasarkan dua ungkapan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa secara terminologi ijtihad dalam karya ulama klasik secara umumijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan keilmuan untuk mendapatkan sebuah simpulan, pengetahuan, atau perasangaka tentang suatu hukum dari perbuatan orang mukallaf (cakap hukum). Sementara menurut kalangan ulama kontemporer, ijtihat merupakan sebuah konsep yang sekaligus mengandung implikasi metodologis, metodis atau fungsional.
Fazlu Rahman misalnya, mendefinisikan ijtihad sebagai upaya memahami makna suatu teks atau preseden dimasa lampau yanginterpretasi al-Qur’an dan al-Sunnah.ketika suatu prinsip atau aturan syariah didsarkan pada makna umum atau implikasi yang luas pada suatu teks yang jelas dan terinci, maka teks dan prinsip syariah itu harus dihubungkan melalui penalaran hukum. Agar ijtihad dapat menghasilkan hukum yang tepat dan dapat menjawab permasalahan yang ada, maka harus dilakukan dengan berbagai pendekatan dan bidang ilmu.[2]
Berangkat dari permasalahan diatas, maka ijtihad kontemporer dapat dirtika sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh orang baik secara individu maupun kolektif yang mempunyai kelayakan dan kompetensi ilmiyah untuk mendapatkan formulasi hukum yang tepat dengan mensinergikan metode ushul fiqih dengan metode ilmiah serta menggunakan berbagai disiplin ilmu dengan berlandaskan sumber-sumber hukum dengan mempertimbangakan realitas sosial dan konteks masa dan situasi untuk mencapai kemaslahatan. Ijtihadkontemporer tidak hanya dilakukan seorang akan tetapi secara kolektif, karena menggunakan berbagai perspektif dan pendekatan.

B.            Model Ijtihad Kontemporer
Realitas sosial menjadi salah satu faktor pembeda metode dan corak ijtihad ulama madzhab dan hasilnya. Imam Syafi’i misalnya, pada mulanya ketika berada di Hujaz dan Irak telah mengeluarkan ijtihad beliau yang sering disebutnya dengan qaum qadim. Qaul qadim ini dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya negri Hijaz dan Irak. Kemudian ketika beliau hijrah ke Mesir, beliau mendapati bahwa realitas sosial budaya masyarakat Mesir berbeda dengan Hijaz dan Irak, karena Mesir dipengaruhi oleh Budaya Eropa dan Romawi. Sehingga beliau mengeluarkan ijtihad baru yang biasa disebut qaul jadid.
Paparan diatas memberikan gambaran bahwa metode dan ijtihad harus kontekstual, artinya memperhatikan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Apabila ada suatu fenomena atau problem yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang membutuhkan jawaban dari perspektif hukum Islam, maka harus dilakukan ijtihad dengan metode yang relevan dengan problem tersebut.
Yusuf al-Qarawadi menawarkan tiga alternatif model dalam melaksanakan ijtihad kontemporer, yakni ijtihad intiqa’i, ijtihad insyai, dan ijtihad integrasi antara keduanya. Mengenai maksud ijtihad intiqa’i menjelaskan:
"ونعي بالا جتهاد الانتقاءئي : اختيار أحد الآراء المنقولة في تراثنا الفهي العريض للفتوى أوالقضاءبه ، ترجيحا له على غيره من الاراء ولآراء قوال الاخرى."
ijtihad intiqai adalah memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang mendapat pada khazanah fiqih Islam yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum”. Sementara ijtihad insyai adalah:
ونعني بالاجتهاد الانشائي :استنباط حكم جديدفي مسأءلة من المسائل ، لم يقل به أحد من السابقين، سواء كانت المسألة قديمة أم جديدة. ومعنى هذاأن الاجتهاد الإنشائي قد يشمل بعض المسائل القديمة بأن يبدو للمجتهد المعا صر فيهاراي جديد لم ينقل عن علماء السلف ولا حجر على فضل الله تعا لى.
Maksudnya dari pernyataan diatas adalah ijtihad insya’imerupakan usaha pengambilan konklusi hukum dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu.
Tawaran ketiga adalah dengan memadukan antara ijtihad intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru. Dalam kesempatan lain al-Qaradawi menjelaskan tentang model ijtihad kontemporer, yaitu Taqnin (legislasi), fatwa dan al-bahs. [3]
Sementara Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh mengatakan:
"إذا وقعت حادثة جديدة، أوأراد إنسان استخلاص رأي راجح من بين آراء الأءمة، استجمع العالم المجتهد كل ما يتصا بنواحي المو ضوع من لغة وآيات قرآنية وأحاديث نبوية وأقاويل السلف وأوجه القياس المكنه، أي لابد من توافر شروط الاجتهاد في تلك الحادثة، ثم ينظر فيها بدون تعصب لمذهب معين على التالي : ينظر أولاًفي نصوص كتاب الله تعالى، فإن وجد فيه نصًا أو ظاهراً، تمسك به، وحكم في الحادثة بمقتضاه. فإن لم يجد فيه ذلك، نظر في السنة، فإن وجد فيها خبراً أو سنة أعملية أوتقريرية، أخذ بها، ثم ينظر في إجماع العلماء، ثم في القياس، ثم في الرأي الموافق لروح التشريع الإسلامي. وهكذا تتحدد طريقة الا جتهاد إما بالأخذ من ظواهر النصوص إذا انطبقت على الواقعة، أو بأخذ الحكم من معقول النص أي بالقياس، أو بتنزيل الوقاءع على القواعد العامة المستنبطة من الأدلة المتفرقة في القرآن والسنة كالا ستحسان والمصالح المر سلة والعرف وسد الذراءع إلخ.

Berdasarkan ungkapan diatas, dapat dipahami bahwa sebuah metode ijtihad (penalaran hukum) sendiri secara umum dapat dibagi kedalam tiga model yaitu:
1.             Melalui penalaran hukum yang berangkat dari semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik). Metode ini ditunjukan terhadap teks-teks syariah yang berupa Al-Qur’an dan Hadis untuk mengetahui bagaimana cara lafaz-lafaz kedua sumber itu menunjuk kepada hukum-hukum fiqih yang dimaksudnya.
2.             Pola qiyasi(analogi), yaitu usaha untuk menetapkan hukum islam yang khususnya tidak terdapat dalam nas dengan cara menganalogkannya dengan kasus (peristiwa) hukum yanng terdapat dalam nas karena adanya keserupaan hukum.
3.             Pola Istislahi yaitu suatu metode penalaran hukum yang mengumpulkan ayat-ayat umum guna menciptakan prinsip universal untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Istislah atau al-Maslahah al-Mursalahadalh maslahat berupa kebaikan atau manfaat yang dinilai dengan pertimbangan logika dan sesuai dengan tujuan syara’, namun tidak ada petunjuk dalam nas yang mendukung atau mereduksinya.

Pengembangan Fiqih Mu’amalah Kontemporer dengan menggunakan model istislahi bertujuan mencapai kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat indonesia dengan memadukan ukuran nas atau teks dengan pandangan logika atau akal. Pemaduan keduanya bertujuan kemaslahatan yang hendak dicapai tidak liar, lepas dari koridor syara’ serta hanya menggunakan pertimbangan akal dan realitas sosial semata. Disamping itu, pemaduan nas dan akal dilakukan agar ijtihad tidak hanya dogmatis tekstual tanpa menggunakan pertimbangan kemaslahatan yang realistis dan praktitis.
Berangkat dari berbagai model-model ijtihad sebagaimana dipaparkan diatas, model yang paling tepat digunakan untuk ijtihad kontemporer dalam rangka menghasilkan fiqih kontemporer adalah metode ketiga, yaitu model Istislahi. Model ini yang dipakai oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam mazhab disetiap waktu dan masa. Metode ini berusaha mewujudkan otentisitas dan modernitas sekaligus. Model ini berusaha mewujudkan dua hal: pertama, tetap berpegang teguh pada nas, dan kedua, tetap menjaga dan mempertemukan aspek kemaslahatan dan kebutuhan setelah melakukan pemahaman mendalam terhadap nas dan menjelaskaan illat-nya. Model ini dapat diterima secara syara’ maupun akal, karena pertama, model ini menjaga tuntutan-tuntutan perkemangan atas dasar maslahah mursalah, termasuk ‘urf “menabrak nas”. Model ini diharapkan dapat memproduk fiqih kontemporer yang kontekstual, sehingga dapat menjadi acuan pengembangan hukum Islam untuk menjawab berbagai persoalan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat modern.

C.           Perangkat Ijtihad Kontemporer
Perangkat ijtihad merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorng mujtahid. Kalau membaca kitab-kitab ushul fiqh ulama klasik, maka persyaratan mujtahid akan selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat tekstual dan berkaitan dengan moralitas dan integritas muhtahid. Al Ghazali misalanya mensyaratkan seorang mujtahid harus mengetahui tentang hukum-hukum syara’ dan harus adil serta menjauhi perbuatan maksiat yang bisa menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Al-Syatib sebagai “Bapak Maslahat” mensyaratkan dua hal yaitu: 1) bisa memahami tujuan syariat secara sempurna, 2) bisa menggali suatu hukum atas dasar pemahaman seorang mujtahid. Menurut Imam Al-Syaukani mujtahid harus: 1) menguasai nas Al-Qur’an dan al-Sunnah, 2)menguasai permasalahan ijma’ 3) menguasai bahasa arab, 4) menguasai ilmu ushul fiqh, 5) menguasai nasakhdan mansukh. Pada umumnya ulama klasik dalam membuat kriteria mujtahid tidak memisahkan antara syarat dan kode etik seorang mujtahid. Sementara menurut Yusuf al-Qarawadi seorang mujtahid harus memenuhi kriteria: 1) menguasai al-Qur’an dan ilmu nya yang berkaitan, 2) menguasai al-Sunnah dan ilmu yang berkaitan, 3) menguasai Bahasa Arab, 4) menguasai permasalahan ijma’. Syarat ini menurut Qaradawi adalah berlaku bagi mujtahid muthlaq. Lebih dari itu, menurut Yusuf Qaradawi, seorang mujtahid harus menguasai ilmu-ilmu humaniora, mengetahui peradaban di zamannya bidang kesehatan, kimia, olah raga, hal ini agar hasil ijtihad relevan.
Lebih tegas lagi, Ahmad Bu’ud menyatakan bahwa ijtihad kontemporer setidaknya mempunyai tiga perangkat pokok, yang secara singkat adalah:[4]
الأول فقه النص، وما يستلزم ذلك من فقه الغة العربية،وأسباب النزول، أو الورود، ومقاصد الشرع في ذلك. الشاني فقه الواقع، وما يتطلب من أدوات مختلفة باختلاف  القضايا والمجالات. الثالث، الاجتهاد الجماعي، لأنه الشكل الأ نسب للاجتهاد، كماكان ذلك على عهد الصحابة رضوان الله عليهم.
Maksud dari pernyataan Bu’ud diatas, sebagaimana yang diterjemahkan dan dijelaskan oleh Baradikal bahwa perangkat ijtihad kontemporer adalah: Pertama, Fiqh al-Nasi dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Hal yang paling pertama dilakukan oleh seorang mujtahid ketika berijtihad adalah mencari landasan dalil-dalil hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Untuk mencapai kemaslahatan umat dan ketetapan berijtihad, diperlukan kerja sama semua kompenen yang berkaitan dengan masalah tersebut, agar kaidah dalam memahami teks yang perlu dimiliki oleh seorang mujtahid diantaranya; (a) memiliki kapabilitas dalam pengetahuan Bahasa Arab, (b) mengetahui sebab turunnya sebuah ayat atau hadis (asbab al-nuzul wa al-wurud), (c) mengetahui tujuan atau maksud dari turunnya ayat tersebut (maqasid al-Syari’ah).
Kedua, fiqih realitas (al-fiqh al-waqi’i), yaitu pemahaman yang mendalam dan integral terhadap sebuah objek atau realitas yang dipahami oleh manusia dalam ranah hidupnya. Adapun hal-hal yang mencakup fiqh al-waqi’adalah: (a) Memahami dan mengetahui pengaruh-pengaruh alami yang muncul dilingkungan sekitarnya, terutama kondisi geografis wilayah tertentu dimana mujtahid tersebut hidup dan tinggal. (b) Mengetahui kondisi sosial kemasyarakatan dan transformasinya dalam berbagai bentuk yang memiliki keterkaitan sosial, yaitu segala sesuatu yang berhubungan antara satu orang dengan orang lainya apapun jenis hubungan tersebut, baik dalam ranah agama, budaya, ekonomi, politik atau militer. (c) Disamping memahami realita sosial yang melingkupi sebuah permasalahan, seoranng mujtahid juga dituntut untuk mempelajari kondidi psikologis manusia sekitarnya.
Ketiga, ijtihad kolektif (jama’i). Ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihad jami’i), kecuali ketika keadaan benar-benar mendesak. Keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini.
Mengenai ijtihad kolektif terpadu ini al-Qaradawi menyatakan:
وينبغي أن يكون الاجتهاد في عصرنا اجتهادا جماعيا في صورة مجمع علمي يضم الكفايات الفقهية العالية، ويصدر أحكا مه في شجاعة وحرية بعيدا عن كل المؤثرات والضغوط الاجتماعية والسياسية، ومع هذالاغني عن الجتهاد الفدي، فهو الذي ينير الطريق أمام الاجتهاد الجماعي، بما يقدم من دراسات عميقة، ومجوث أصيلة مجدومة، بل ان عملية الاجتهاد في حد ذاتها عملية فردية قيل كل شيء.

Selain berbagai keilmuan di atas, dalam konteks ijtihad kontemporer untuk memproduk fiqih kontemporer, maka dibutuhkan berbagai ilmu lain, yang meliputi ilmu-imu sosial humaniora, seperti sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan juga diperlukan ilmu sains modern.[5]
Ijtihad kontemporer dilakukan setiknya dengan dua kelompok perangkat, perangkat metodologid dan perangkat oprasional. Perangkat metodologis adalah perangkat yang berkaitan dengan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan metode penemuan hukum, seperti al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berkaitan, ushul fiqh, ilmu metodologi penemuan hukum kontemporer, dan sebagainya. Sementara perangkat oprasioanal lebih pada ilmu-ilmu pendukung untuk oprasional perangkat metodologis tersebut, seperti ilmu-ilmu sosial humaniora dan ilmu pengetahuan sains modern. Oleh karena itu ijtihad kontemporer dilaksanakan secara terpadu atau integratif.
Ijtihad kontemporer dilaksanakan secara bersama-sama oleh berbagai pakar dari berbagai latar belakang ilmu, dan menguasai metode ushul fiqh dan ilmu-ilmu metode penemuan hukum modern. Penguasa metode ijtihad klasik atau ushul fiqh dan berbagai ilmu humaniora dan sains modern menjadi keharusan bagi para mujtahid kontemporer. Hal ini merupakan usaha untuk mensinergikan antara metode ushl fiqh  klasik dengan metode ilmiah modern. Kedua metode ini memang harus disinergikan dalam rangka ijtihad yang fresh dan kontekstual yang dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:[6]

BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan Ijtihad secara etimologi berarti mengerahkan kemampuan. Mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Maka ijtihad kontemporer dapat dirtika sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh orang baik secara individu maupun kolektif yang mempunyai kelayakan dan kompetensi ilmiyah untuk mendapatkan formulasi hukum yang tepat dengan mensinergikan metode ushul fiqih dengan metode ilmiah serta menggunakan berbagai disiplin ilmu dengan berlandaskan sumber-sumber hukum dengan mempertimbangakan realitas sosial dan konteks masa dan situasi untuk mencapai kemaslahatan. Ijtihadkontemporer tidak hanya dilakukan seorang akan tetapi secara kolektif, karena menggunakan berbagai perspektif dan pendekatan. Model ijtihad kontemporer yaitu terdiri dari yakni ijtihad intiqa’i, ijtihad insyai, dan ijtihad integrasi. Sedangkan perangkat ijtihad merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorng mujtahid.

B.            Saran
Berangkat dari berbagai model-model ijtihad sebagaimana dipaparkan diatas, model yang paling tepat digunakan untuk ijtihad kontemporer dalam rangka menghasilkan fiqih kontemporer adalah metode ketiga, yaitu model Istislahi. Model ini yang dipakai oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam mazhab disetiap waktu dan masa. Metode ini berusaha mewujudkan otentisitas dan modernitas sekaligus. Model ini berusaha mewujudkan dua hal: pertama, tetap berpegang teguh pada nas, dan kedua, tetap menjaga dan mempertemukan aspek kemaslahatan dan kebutuhan setelah melakukan pemahaman mendalam terhadap nas dan menjelaskaan illat-nya. Model ini dapat diterima secara syara’ maupun akal, karena pertama, model ini menjaga tuntutan-tuntutan perkemangan atas dasar maslahah mursalah, termasuk ‘urf “menabrak nas”. Model ini diharapkan dapat memproduk fiqih kontemporer yang kontekstual, sehingga dapat menjadi acuan pengembangan hukum Islam untuk menjawab berbagai persoalan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat modern.
DAFTAR PUSTAKA

Mustafa Imam, 2013. Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Mustofa Imam, 2013. Ijtihad Kolektif Integratif Upaya Pengembanagn Fiqh Mu’amalah Kontekstual Sebagai Landasan Pengembangan Produk Lembaga Bisnis Syariah. Metro.



[1] Imam Mustafa, Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2013), h. 9
[2] Ibid, h. 10
[3] Imam mustofa, ijtihad kolegtif integratif,Upaya pengembangan fiqh mu’amalah kontekstual sebagai landasan pengembangan produk lembaga bisnis syariah,  (Metro,2013), h. 21
[4] Imam Mustafa, Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2013), h.15
[5] Ibid, h. 16
[6] Ibid, h. 17