Asal Usul Bangsa Arab |
Jazirah Arab
atau Pulau Arab adalah satu semenanjung yang terletak di sebelah barat daya
Asia. Semenanjung ini dinamakan dengan Jazirah karena
tiga sisinya berbatasan dengan air, yaitu sebelah timur berbatasan dengan Teluk
Oman dan Teluk Persi (Teluk Arab), sebelah selatan berbatasan dengan Lautan
India, di sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah. Hanya di sebelah utara,
Jazirah ini berbatasan dengan daratan
atau padang pasir Irak dan Syiria.
Bangsa Arab
termasuk rumpun bangsa Semit (Samiyah), keturunan Syam bin Nuh. Pada awalnya,
bangsa Samiyah bertanah air di Mesopotania, yaitu negeri yang terletak di
sungau Dajlah (Tigris) dan Eufrat (Euphrates). Dengan bertambahnya jumlah
penduduk, dan negeri yang kecil, menyebabkan mereka berpindah ke tanah-tanah
yang berdekatan. Dan menetap di tempat-tempat baru. Bangsa Arab pindah dan
menetap di Jazirab Arab.[1]
Ungkapan orang-orang Arab pertama kali digunakan dalam
literatur Yunani oleh Aeschylus (525-456 S.M.), yang merujuk pada para perwira
tinggi Arab dalam barisan angkatan perang Xerxes. Herodotus (sekitar 484-425
S.M.) juga menggunakannya untuk merujuk pada orang-orang Arab dalam angkatan
perang Xerxes, yang berasal dari Mesir Timur.[2]
Dari sudut sejarah perkembangannya, bangsa Arab terbagi
menjadi dua kelompok. Pertama, Arab
Ba’idah yaitu kelompok yang telah punah: sejarah mereka telah berhenti bersama
punahnya mereka dari muka bumi; Kedua, Arab
Baqiyah, yakni kelompok yang masih survive
sampai sekarang.
Yang termasuk dalam kelompok Arab Ba’idah ialah kaum
‘Ad,Tsamud, Ainun, Amiel, Jadis, Imlieq, urhum, Ula dan Wabar. Diantara
sembilan kaum ini hanya sejarah ‘Ad dan Tsamud saja yang dapat diketahui,
karena dijelaskan dalam al-Qur’an, sedangkan sejarah dari tujuh kaum lainnya
belum terungkap sampai sekarang. Kaum ‘Ad juga berdiam di Hadlramaut, suatu
tempat yang terletak di tepi gurun Ahqaf al-Rasul. Ibu kota dari Iramu Dzat al-Imad.
Syurga di bumi, dibangun oleh seorang raja kaum ‘Ad bernama Syaddad. Kaum
Tsamud berdiam di Babylonia. Oleh penulis sejarah klasik kaum Tsamud dikenal
dengan nama “Tamadari”.
Orang-orang Arab yang survive
Arab Baqiyah memecah diri dalam dua golongan. Golongan pertama ialah Arab ‘Arabiyah yakni mereka yang
berdarah Arab murni. Mereka adalah orang-orang Yaman anak keturunan Qhatan atau
dinamakan orang-orang Arab selatan. Golongan kedua adalah golongan Arab
Mutsa’ribah, yakni mereka secara naturalisasi menjadi golongan Arab. Arab Mutsa’ribah
adalah orang-orang Hijaz, Nadj, Nabatiyah dan
Palmyra, anak ketururnan Adnan keturunan nabi Ismail as atau dinamakan sebagai
orang-orang Arab utara.[3]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa
bagsa Arab merupakan rumpun dari bangsa semit yang berasal dari mesopotamia. Di
mana kemudian bangsa tersebut terbagi menjadi dua kelompok yang disebut Arab
Ba’idah yaitu kelompok yang telah punah: sejarah mereka telah berhenti bersama
punahnya mereka dari muka bumi; Kedua, Arab
Baqiyah, yakni kelompok yang masih survive
sampai sekarang.
B. Kepercayaan Bangsa Arab
Pra Islam
Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut agama
yang mengakui bahwa Allah sebagai Tuhan mereka. Kepercayaan ini diwarisi secara
turun temurun sejak nabi Ibrahim dan Ismail. Al-Qur’an menyebutkan agama itu
dengan hanif, yaitu kepercayaan yang
mengakui keesaan Allah sebagai pencipta alam, Tuhan menghidupkan dan mematikan,
Tuhan yang memberi rezeki dan sebagainya.
Kepercayaan kepada Allah tersebut tetap diyakini oleh
bangsa Arab sampai kerasulan Nabi Muhammad saw. Hanya saja keyakinan itu
dicampur-baurkan dengan takhayul dan kemusyrikan, mensekutukan Allah dengan
sesuatu dalam menyembah dan kepada-Nya, seperti jin, roh, hantu, bulan,
matahari, tumbuh-tumbuhan, berhala dan sebagainya. Kepercayaan yang menyimpang
dari agaman hanif itu disebut agama watsaniyah.
Watsaniyah yaitu agama
yang mempersekutukan Allah dengan mengadakan penyembahan kepada: aushab (batu yang dibentuk mwnjadi
patung) dan ashaam (patung yang
terbuat dari kayu, emas, perak, logam dan semua patung yang tidak terbuat dari
batu.
Penyimpangan itu terjadi perlahan-lahan. Mereka
menyatakan berhala-berhala itu sebagai perantara terhadap Allah. Allah tetap
diyakini sebagai yang Maha Agung tetapi antara Tuhan dan makhluknya dirasakan
ada jarak yang mengantarinya berhala-berhala berlambang malaikat, putra-putra
Tuhan. Berhala adalah kiblat atau penentu arah dalam menyembah dan peribadatan.
Berhala itu tempat bersemayam roh nenek moyang mereka yang harus dihormati dan
dipuja. Demikian juga diantara mereka ada yang mempertuhankan binatang-binatang
dan tumbuh-tumbuhan sebagai anasir yang memberi pengaruh terhadap alam semesta
dan kehidupan manusia.
Ibnu Hisyam dan al-Thabari menceritakan tentang pohon
palm suci di Narja. Sesembahan atau sesajen yang berupa senjata, baju, dan kain
tua, dipersembahkan kepada pohon-pohon suci ini dengan cara digantungkan pada
pohon itu. Tempat pergantungan dinamakan al-Anwath. Al-Kalbi menceritakan bahwa
al-Uzza yang disembah oleh orang-orang
Mekkah mempunyai tempat suci yang berupa tiga pohon di Nakhlah. Kepada pohon
inilah setiap tahun orang-orang Mekkah menyampaikan sesembahan dan sesajennya
yang dipersembahkan kepada al-Uzza. Mata-mata
air yang diberi nama ba’i juga
merupakan salah satu objek yanng dikeramatkan. Yakut dan al-Qazwini
menceritakan bahwa pengelana-pengelana Badui selalu membawa pulang air sumur
Urwah untuk dijadikan sebagai oleh-oleh khusus bagi keluarga dan para
sahabat-sahabatnya. Diduga bahwa mulanya orang Arab Badui menjadikan pohon dan
mata air sebagai tempat suci yang dikeramatkan tumbuh secara bersamaan.
Penyembahan benda-benda alam berpusat pada bulan.
Orang-orang badui beranggapan bahwa bulanlah yang mengatur kehidupan mereka.
Bulanlah yang mengkondensikan uap air, yang menyulingnya dan kemudian menjadi
embun yang menutupi ladang-ladang ternak mereka, yang memungkinkan segarnya
rerumputan. Di samping itu sinar bulan di kala malam memberi sedikit kepuasan
bagi orang-orang Badui yang selalu dikecam oleh ketakutan. Matahari oleh
orang-orang Badui dianggap sebagai perusak terhadap manusia maupun terhadap hewan.
Al-Uzza adalah
bintang Venus, bintang pagi yang sesembahan kepadanya pernah berupa korban
manusia, dan al-Manah adalah dewa nasib.
Hubal yang menurut bahasa Aramiah berarti spirit adalah
dewa utama orang-orang Quraisy. Hubal berbentuk manusia, menurut riwayat
terbuat dari batu akik merah. Menurut riwayat yang lain, Hubal ini dibawa dan
diperkenalkan oleh Amr ibn Lubay dari Banu Khuza’ah yang
awaktu itu menjadi penguasa di Mekkah. Ibnu Lubay pernah pergi ke Balqa’ di
Syiria di mana dia berpengaruh pada penyembahan orang-orag Syiria terhadap
berhala-berhala. Dialah yang mengintrodusir penyembahan berhala pada
orang-orang Mekkah dengan menempatkan Hubal yang dibawanya dari Balqa’ di
Ka’bah.
Di samping dewa yang pada umumya terdiri atas dewa-dewa
perempuan, sebagai pelindung, orang-oranng Arab Badui mempercayai pula pada
jin, setan, roh-roh jahat yang membawa kerusakan dan kehancuran.[4]
Untuk mendekatkan diri kepada dewa-dewa itu, maka oleh
bangsa Arab disajikan kepadanya korban-korban dari binatang ternak. Bahkan pada
suatu ketika pernah pula mereka mempersembahkan manusia sebagai korban kepada
dewa-dewa.
Peristiwa Abdul Mutthalib yang hampr saja menyembelih
puteranya yang bernama Abdullah untuk menjadi korban kepada dewa-dewa sebagai
yang akan kita tuturkan nanti menunjukkan bahwa mempersembahkan manusia sebagai
korban kepada dewa-dewa pernah dikerjakan oleh mereka.[5]
Tidak semua orang Arab Jahiliyah itu menyembah watsaniyah. Ada beberapa kabilah yang
menganut agama Yahudi dan agama Masehi. Agama Yahudi dianit oleh bangsa Yahudi
yang termasuk rumpun bangsa Samiyah (Semit). Asal-usul bangsa Yahudi berpangkal
pada nabi Ibrahim a.s. bangsa ini disebut juga bangsa Israil, yaitu turunan
nabi Ya’kub dan Ibrahim. Nabi ya’kub disebut juga dengan Israil. Nama Yahudi disandarkan
pada Zahuda, salah seorang dari dua belas
orang putra nabi Ya’kub.
Semenjak abad pertama Masehi bangsa Arab telah
berhubungan dengan pemeluk agama Masehi, sewaktu melakukan perdagangan ke
wilayah kerajaan Romawi dan negeri Habysi. Agama iniberkembang di kalangan
bangsa Arab pada abad ke-enam Masehi.[6]
Tetapi, agama Yahudi dan Masehi tiadalah tersiar betul di
tanah Arab. Yang demikian disebabkan adanya diskriminasi yaitu agama Yahudi
menurut bangsa Yahudi adalah agama dari suatu bansa yang pilihan.[7]
Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa sebelum Islam memasuki Bangsa Arab, saat itu mereka
mempercayai tentang keesaan Allah, akan tetapi mereka menyeleweng karena
beranggapan bahwa memerlukan perantara untuk menyembah-Nya. Mereka menggunakan
berhala-berhala untuk beribadat. Selain itu mereka mempercayai dewa-dewa,
binatang-binatang yang dianggap Tuhan, ada pula yang beragama Yahudi dan
Masehi.
C. Kehidupan Sosial dan
Budaya Bangsa Arab Pra Islam
Dalam pembahasan di bawah ini mengkhususkan pembicaraan
mengenai segi-segi terpenting dalam kehidupan sosial bangsa Arab sebelum Islam,
karena pembahasan semacam ini amat penting untuk memahami pendirian bangsa Arab
terhadap agama Islam, di kala mereka diseru kepada agama baru ini.
Ada dua cara, dalam mempelajari syair Arab di masa
Jahiliyah, kedua-duanya itu amat besar faedahnya.
1.
Mempelajari syair itu
sebagai suatu kesenian, yang oleh bansa Arab amat dihargai.
2.
Mempelajari syair itu
dengan maksud, supaya kita dapat mengetahui adat istiadat dan budi pekerti
bangsa Arab.
Syair adalah salah satu seni yang palin indah yang amat
dihargai dan dimuliakan oleh bangsa Arab. Mereka amat gemar berkumpul
mengelilingi penyair-penyair, untuk mendegarkan syair-syair mereka, sebagai
orang zaman sekarang beramai-ramai
mengelilingi orang penyair atau pemain mudik yang mahir, untuk mendengarkan
permainannya.
Seorang penyair mempunyai kedudukan yang amat tinggi
dalam kehidupan bangsa Arab. Bila pada suatu kabilah muncul seorang penyair
maka berdatanglah utusan dari kabilah-kabilah lain, untuk mengucapkan selamat
pada kabilah itu. Untuk ini kabilah itu mengadakan perhelatan-perhelatan dan
jamuan bersar-besaran, dengan menyembelih binatang-binatang ternak.
Wanita-wanita kabilah keluar untuk menari, menyanyi dan bermain musik.
Semua ini diadakan untuk menghormati penyair.karena
penyair mrmbela dan mempertahankan kabilah dengan syair-syairnya, ia melebihi
seorang pahlawan yang membela kabilahnya dengan ujung tombaknya. Di samping itu
penyair juga dapat mengabadikan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian
dengan syairnya. Dan bilamana ada penyair-penyair lain mencela kabilahnya, maka
dialah yang akan membalas dan menolak celaan-celaan itu dengan syair-syairnya
pula.
Orang yang membaca syair Arab, akan melihat kehidupan
bangsa Arab yang tergambar dengan jelas pada syair itu. Dia akan melihat padang
pasir, kemah-kemah, tempat-tempat permainan, dan sumber-sumber air. Dia akan
mendengar tutur kata pemimpin-pemimpin laki-laki dan wanita. Dia akan mendengar
bunyi kuda dan gemrincing pedang.[8]
Syair-syair Jahili menggambarkan kehidupan Badui yang
sederhana tentang perburuan, unta, padang pasir, kebangsaan, berhala, ratapan
dan pujian yang berlebih-lebihan terhadap wanita yang dikasihi dan dicintai.
Belum terdapat syair-syair yang mengandung ilmu, hukum, dan pemikiran yang
bernilai tinggi dan ungkapan perasaan yang dalam.
Peradaban material Arab Jahiliyah yang mendiami Hijaz dan
sekitarnya tidak banyak disebut dalam sejarah. Keluarga dari Arab Aribah (Arab
Qaththaniyah) di selatan Jazirah Arab
pernah mendirikan kerajaan besar dan makmur, mereka mendirikan kota-kota,
bangunan mewah, mengolah tanah dengan menggunakan bendungan dan pengairan,
memahat patung, ahli perbintangan, mempunyai anngkatan perang yang amat tangguh
dan mengadakan perluasan wilayah dengan mengadakan hubungan perdagangan dengan
kerajaan-kerajaan tetangga.
Berbeda dengan peradaban materian. Peradaban non material
lebih banyak disebutkan. Diantaranya syair-syair jahili, cerita prosa, khithabah, amstal, ansab (ilmu
keturunan), tenun dan ramalan, perbintangan, memanah, menunggang kuda dan
sebagainya. Setiap tahun selalu diadakan lomba mengarang syair dan
mendeklamasinya. Oleh karena dalam syair mereka hanya memuja-muja alam,
kekasih, berhala dan sebagainya, maka para ahli syair Arab dicela dalam
al-Qur’an dalam surat asy-Syuara, syair-syair yanng terpilih dituliskan air
emas dan digantungkan di Ka’bah, dengan demikian dapat diketahu bahwa sebelum
Islam datang orang Arab Jahiliyah sudah mempunyai kesusastraan yang baik.[9]
Dapat diketahui dari penjelasan di atas, bahwa kehidupan
bangsa Arab pra Islam sudah mengenal kebudayaan yang baik, mereka mempunyai
kesusastraan yang bagus. Dalam kehidupan sosialnya dapat terlihat dari
syair-syair yang digambarkan oleh penyair yang di mana mereka sangat di hargai
dan dihormati oleh bangsa Arab itu sendiri.
D. Bangsa-bangsa di Sekitar
Selain bangsa Arab, dalam rumpun bangsa Semit terdapat
bangsa-bangsa Asyria, Babylonia, dan Ibrani.[10]
1. Bangsa Asyria
Bangsa Assyria lebih tua
daripada bangsa Babilon. Mereka merupakan campuran banyak ras. Para ahli
menyebutnya sebagai bangsa Semit. Sebutan itu didasarkan atas bahasa yang
digunakannya, yaitu bahasa Semit. Bahasa itu kemudian menurunkan bahasa Ibrani
dan Arab sekarang. Negeri bangsa Assyria terletak di tepi Sungai Tigris, di
Mesopotamia. Di daerah itu dijumpai peradaban kuno yang tinggi seperti
kebudayaan bangsa Babilon yang ada di bagian selatannya. Bangsa Assyria sering
disebut sebagai bangsa Roma dan Asia. Kedua bangsa itu sama-sama dikenal
sebagai bangsa penakluk. Mereka sangat ditakuti karena mempunyai tentara
infantri, tentara berkuda, dan tentara dengan kereta perang.
2. Bangsa Babylonia
Bangsa Sumeria ditaklukkan oleh tetangganya,
yaitu bangsa Semit yang tinggal di utaranya pada Tahun 2300 sebelum Masehi.
Bangsa Semit itu mungkin dekat hubungannya dengan bangsa Sumeria. Mereka itu
merupakan nenek moyang bangsa Yahudi dan Arab. Raja Semit yang menaklukkan
Sumeria bernama Sargon Agung. Wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Sumeria dan
Akkadia (Mesopotamia). Ibu kotanya Agade (Akkad). Raja yang kemudian. Ur-Nammu
(2113-2096 SM), memerintah kerajaan yang besar. Untuk menunjukkan kekuasaannya
ia membangun Ziggurat yang sangat besar. Bangunan itu didirikan di atas bukit.
Ada tiga tangga untuk naik ke puncaknya, masing-masing terdiri seratus anak
tangga. Daerah Sumeria terpecah menjadi satuan-satuan kecil yang saling
berperang. Menjelang tahun 2200 sebelum Masehi. Salah satu kota yang menjadi
pusat kebudayaan adalah kota Babilon (Babil). Menurut para ahli, nama Babilonia
berasal dan kata babila. Kata itu menurut ahli etimologi (ilmu yang mempelajari
asal kata), berasal dan kata babilu yang berarti gerbang menuju Tuhan.[11]
3. Bangsa Ibrani
Orang-orang Yahudi, dari sisi geografis, merupakan
tetangga dekat orang-orang Arab dan dari sisi ras merupakan saudara terdekat
mereka. Gambaran bahwa orang Ibrani berasal dari gurun banyak diungkap dalam
Perjanjian Lama. Bahasa Ibrani dan Arab, seperti yang telah kita ketehui
bersama, berasal dari rumpun bahasa yang sama, rumpun semit. Beberapa nama
Ibrani yang disebutkan dalam Perjanjian Lama berasal dari bahasa Arab, misalnya
nama hampir semua anak Ekau (Kitab Kejadian) 36: 10-14; I bab I: 35-37). Orang
Arab selatan tidak akan terlalu sulit memahami ayat pertama Kitab Kejadian yang
berbahasa Ibrani. Penelitian modern memperlihatkan bahwa kesederhanaan agama
Ibrani mencerminkan karakteristik gurun yang menjadi tempat kelahirannya.[12]
[1] Fadil SJ, Pasang
Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang:UIN-Malang Press,
2008) h 43 dan 46.
[3] Fadil SJ, Pasang
Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang:UIN-Malang Press,
2008) h 46-47.
[4] Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan
Sejarah, (Malang:UIN-Malang Press, 2008) h 61-64.
[6] Fadil SJ, Pasang
Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang:UIN-Malang Press,
2008) h 64-65.
[9] Fadil SJ, Pasang
Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang:UIN-Malang Press,
2008) h 82-83.
0 komentar:
Posting Komentar