Dalil
ialah keterangan yang dijadikan bukti sesuatu kebenaran.[1] Dalil bisa dijadikan bukti penguat yang mendukung
argumentasi seseorang. Petunjuk atau tanda bukti dari suatu kebenaran, untuk
menentukan bahwa sesuatu itu benar atau salah, sekaligus untuk menghapus rasa
was-was dalam hati atas suatu kebenaran.
Dalil
dalam akidah ada dua yaitu:
a.
Dalil
‘Aqli
Dalil
Aqli adalah dalil yang didasarkan pada penalaran akal yang sehat.[2] Akal
merupakan indera yang diciptakan oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya
muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan melahirkan sejumlah aktifitas
pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia.
Dalil aqli juga
bisa diartikan sebagai sebuah petunjuk dan pertimbangan akal fikiran yang sehat
dan obyektif, yang tidak dipengaruhi oleh nafsu dan ambisi. Jadi dalil ini
adalah penalaran secara murni dan bebas, dan kebenarannya relatif.
Dalil
Naqli adalah dalil yang didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah.[3]
Walaupun
akal manusia dapat menghasilkan kemajuan ilmu dan teknologi, namun harus
didasari bahwa betapapun kuatnya daya pikir manusia, ia tidak akan mampu
mengetahui hak zat Allah swt yang sebenarnya. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk
menyelidiki yang ghaib, untuk mengetahui yang ghaib itu kita harus puas dengan
wahyu Allah. Wahyu itu yang disebut dalil Naqli.
Kebenaran
dalil Naqli ini bersifat Qat’iy (pasti), kebenaranya mutlak serta
berlaku untuk semua ruang dan waktu. Dalil Naqli ada dua yaitu al-Qur’an dan
hadis Rasul. Hal-hal yag tidak dapat dijangkau oleh akal, cukup diyakini
kebenarannya tanpa harus membuktikan dengan akal. Termasuk kedalam bagian ini
adalah hakikat hal-hal yang ghaib, seperti kiamat, alam barzah, alam makhsyar,
surga, neraka, malaikat dan sebagainya.[4]
Akidah
islami adalah iman kepada Allah swt, para malaikat Nya, kitab-kitab Nya, para Rasul Nya,
hari akhir, kepada qada dan qodar.
Suatu
dalil untuk masalah iman, adakalanya bersifat aqli dan naqli, tergantung
perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra atau
akal, maka dalil keimanan nya berifat aqli,
tetapi jika tidak (yaitu diluar jangkauan panca indra), maka ia didasarkan pada
dalil naqli.
Di
antara ayat Al-Qur’an dan hadist yang memuat kandungan akidah islam, antara
lain:
a.
Q.S.
Al-Baqarah (2): 285, yang
artinnya:
“Rasul telah beriman kepada
Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang
yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatnya,
kitab-kitabnya, dan rasul-rasulnya. (mereka mengatakan), “kami lain) dari
rasul-rasulnya’, dan mereka mengatakan,’kami dengar dan kami taat’. (mereka
berdoa),’ampunilah kami, ya tuhan kami dan kepada engkaulah tempat kami
kembali.” (Q.S. Al-Baqarah: 285).
b.
Hadist
Riwayat Muslim:
Artinya : “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, para
malaikatnya, kitab-kitab nya, para rasulya, hari kiamat, dan hendaklah engkau
beriman kepada qadar ketentuan baik dan buruk.” (H.R. Muslim)[5]
Sebagai seorang muslim sudah semestinya beriman kepada Allah, karena
itu merupakan suatu kewajiban. Selain beriman kepada Allah malaikat Allah pun
wajib diimani karena mengimani malaikat berarti memahami adanya relasi antara
malaikat engan manusia, jadi malaikat merupakan bagaian dari sistem jatidiri
manusia, sama halnya dengan setan. Iman kepada rasul Allah juga berarti kita
meyakini dengan sepenuh hati bahwa Rasulullah itu benar-benar utusan Allah yang
memberi kabar gembira dan memberi peringatan kepada kita. Dan juga meyakini
dengan sepenuh hati adanya kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi.
Dan meyakini adanya hari kiamat yang pastinya akan terjadi dan menimpah umat
manusia diseluruh jagat raya ini. Iman kepada qada dan qadar berarti meyakini
ketetapan dan kuasanya Allah swt.
Sesungguhnya,
semua manusia yang lahir kedunia ini memiliki ikatan kepada Allah. Dengan kata
lain, manusia lahir telah memiliki Akidah. Firman Allah dalam Q.S al-A’Raf ayat 172 yang artinya:
“Dan (ingatlah), ketika tuhanmu
mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu adam keturunan mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “bukankah aku
ini tuhanmu?” mereka menjawab, “betul (engkau tuhan kami), kami bersaksi.” (kami lakukan demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak menngatakan,
“sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (Q.S. Al-A’raf : 172).
Inilah
salah satu penjelasan mengapa Rasulullah saw. Menegaskan bahwa semua manusia
dimuka bumi ini lahir dalam keadaan
fitrah (suci). Dengan kata lain telah memiliki Akidah atau ikatan dengan Allah.[6]